Tanya Hati

Tetesan-tetesan air jatuh bersahutan mengenai genting tanah liat, sebagian mendarat ke tanah, menyatu dengan rumput.
Dia menikmati nada-nada yang diciptakan oleh hujan sambil menyeruput kopi Arabika yang masih mengepul. Tiba-tiba mulutnya mengawali percakapan, "Jadi kapan?" Pertanyaan absurd itu memecahkan keheningan.
"Kapan apa?" tanyaku.
"Nikah," katanya singkat, tapi menyayat.

Hmmmmm.. Hmmmmmmm.. Aku merasa mirip Nisa Sabyan. Aku menghirup napas panjang dan mengeluarkannya dengan cepat.

"Kalau sudah waktunya," jawabku pasrah.
"Memangnya kau cari yang seperti apa sih?" tampaknya dia penasaran.

"Entahlah, yang selalu kulihat pertama adalah fasih membaca Al-Qur'an."

"Sepertinya, di zaman ini seleramu itu hanya ada dua dari sepuluh pria."

"Tergantung kau mencarinya dimana. Kalau kau lihat teman-temanku, banyak yang seperti itu," nadaku begitu yakin.

"Kalau begitu, kenapa tidak menikah dengan salah satu dari mereka?"

"Tidak mungkin. Semua sudah memilih jalannya. Aku tidak sanggup jadi yang kedua."

Tak kusangka, ia akan berani mengintrogasiku.

"Jadi apa rencanamu sekarang?"

"Aku tidak tahu. Sudah berkali-kali aku berproses, selalu saja pihak si fulan tenggelam tanpa kabar atau berujung dengan kepastian yang menyakitkan. Mungkin niatku belum sepenuhnya lurus dan tulus."

Wajahnya tampak menemukan sesuatu yang baru, "Baru kali ini aku berpikir apa yang kamu pikirkan, tentang fasih membaca Al-Qur'an. Ada benarnya juga ya."

"Kau kan pria, tak usah ikut-ikutan seleraku. Jika kau tidak mendapat wanita yang fasih membaca Al-Qur'an, kau masih bisa mengajarinya. Aku tidak mencari pria sekelas Muzzammil, Taqy Malik, atau Salim Bahanan. Aku mencari pria yang bisa bersama-sama saling mengoreksi bacaan berdasarkan ilmu pengetahuan, saling mengoreksi kebaikan dan keburukan satu sama lain. Yaa, yang layak menjadi panutan untuk anak-anakku kelak. Tentu saja yang kuinginkan juga seseorang yang tidak berjanji ketika gembira dan mengambil keputusan ketika marah."

"Jadi, dimana kau akan menemukannya?" Dia masih saja bertanya.

"Kau menanyakan pertanyaan yang belum ada jawabannya. Logikaku sudah buntu. Segala cara sudah kulalui dan kau bisa lihat hasilnya. Tidak ada cara lain, bukan manusia yang harus kudekati saat ini, melainkan Tuhannya manusia. Pintu langit selalu menunggu untuk diketuk. Biarkan Dia bekerja dengan segala campur tangan-Nya."

Alarmku berbunyi. Sudah saatnya kembali menuju kursi panas. Aku bergegas meninggalkan dia yang menyeruput sisa kopi terakhirnya. Kupasangkan earphone di telingaku, terdengar suara Taqy Malik menceritakan kisah Maryam, salah satu wanita yang dimuliakan dalam Islam.

Bandung, 8 November 2018.
Perkawinan antara aktual dan delusi.

0 komentar:

Posting Komentar