Aku mencoba menerjemahkan buku lain yang berjudul Al-Kaslan wa Tāj
As-Sulthan karya Abdul Tawwab Yūsuf, artinya (Si) Pemalas dan Mahkota Raja.
Awalnya aku ragu dengan cerita ini karena settingnya di Irak, bukan Mesir. Namun,
ceritanya lebih menarik daripada Alhud-hud Yantaliku Tājan (Burung
Hud-hud Bermahkota). Hari demi hari, aku bergaul dengan kamus elektrik
alakadarnya di HP, sesekali kusambangi mbah google translete. Aduh, pegal kali
tanganku ini menari-nari di papan smartphone. Progres penerjemahan pun sangat
lamban. Sehari kuterjemahkan dua sampai tiga halaman. Sementara total
keseluruhan cerita empat puluh sekian halaman. Mengumpulkan niat adalah hal
yang paling sulit. Aku lebih suka mengunjungi instagram, path, facebook, dan
berbagai media sosial yang menawarkan hiburan dan kekepoan terhadap para mantan
gebetan.
Hari demi hari, kawan-kawan yang mengajukan judul semakin banyak. Tinggal
beberapa yang belum, dan aku salah satunya. Stres, stres tak terkira. Sementara
itu, penyakit stalkerku malah semakin kumat. Seharian aku tak kenal lelah
mengepoi akun-akun yang kuanggap menarik. Sungguh, ini hanya menambah tingkat
stres dan galauku! Tiba-tiba sebuah ide muncul. BAGAIMANA KALAU AKU UNINSTALL
SEMUA APLIKASI MEDIA SOSIAL?
Aku uninstal Path dan Instagram, selebihnya kubiarkan menetap di
smartphone-ku karena tidak terlalu mengganggu. Beberapa hari ku uninstal Path
dan Instagram, rasanya sangat nyaman.
***
Masih ingatkah
kalian, kapan kalian pertama kalinya mengenal internet? Kalau aku masih ingat. Sekitar
tahun 2006/ 2007an, saat itu aku duduk di kelas 2 SMP dan sudah mengenal
internet. Awal kenal, aku sering membuka akun primbon di lab komputer sekolah,
sebuah website yang menawarkan foto-foto penampakan. Dulu website itu sangat
ngehits. Jangan-jangan kalian semua tidak tahu? Dahulu, masuk lab komputer
adalah hal yang sangat ditunggu-tunggu. Internet masih menjadi barang langka.
Memasuki bangku
akhir sekolah menengah pertama, aku mulai membuat akun friendster. Friendster adalah
sebuah media sosial yang ngehits kala itu. Rata-rata anak muda pada masa itu
menggunakan nama samaran untuk membuat friendster, termasuk aku. Aku membuat
akun dengan nama Jover, Jomblo Forever. Sepertinya dua kata itulah yang
mengantarkanku jomblo hingga sekarang. Please, jangan jadi jomblo terus. :”
Saat kelas 3 SMP,
warnet mulai banyak bertebaran dan menjadi bisnis yang sangat menjanjikan. Tarifnya
pun macam-macam. Awalnya harga sewanya 6000/jam. Tetapi, semakin marak warnet
dan saingan pun semakin banyak, lama kelamaan ada pula warnet yang menawarkan
harga 2500/jam. Dulu warnet favoritku di Permai 9. Aku lupa nama warnetnya.
Sehari sepulang
sekolah atau saat week end tiba, aku bisa menghabiskan 3 jam berdiam diri
menatap layar. Akupun tak mengerti, aku bukan orang yang mudah bosan dalam
melakukan sesuatu. Biasanya aku rajin chat di mIRC, yahoo messenger, mendengarkan
musik atau mengganti lay out friendster.
Waktu terus melaju
mengantarkanku berganti pakaian putih abu. Aku tetap setia pada internet dan
seisi akun media sosial, tetapi warnet andalanku kini ada di dekat rumah. Pacar
pertamaku aku kenal di mIRC, tapi untungnya dia sangat baik. Sayangnya, kami
hanya pacaran 8 bulan karena dia tiba-tiba tidak pernah datang lagi ke rumah. Sementara,
orang tuaku melarang aku jalan keluar berdua dengan pacarku. Saat itu pun,
pacarku mulai masuk kuliah dan sibuk ospek di salah satu universitas swasta di
Bandung, jurusan Geologi. Mantanku mewariskan facebook untukku sejak tahun 2009
hingga sekarang, 2016. Saat pertama kali memiliki facebook, aku merasa sangat
ngehits karena jarang sekali teman-teman SMA-ku yang memiliki facebook. Gaul men!
Setelah kemunculan
facebook, muncul twitter. Aku adalah orang yang sangat mudah terbawa arus media
sosial. Aku pun berpindah ke twitter tanpa mengabaikan facebook. Bahkan muncul
koprol, akun media sosial yang (katanya) buatan Indonesia. Sayangnya,
eksistensi koprol kurang dilirik. Aku sudah cinta Indonesia dengan membuat
koprol, tapi teman-temanku tidak memiliki akunnya. Lantas kutinggalkan koprol.
Facebook adalah
akun yang membuatku kecanduan dari tahun 2009 hingga 2014. Sebenarnya faktor
pendorongnya adalah untuk men-stalker akun gebetan. Setiap 5 menit
sekali bisa kubuka facebook si gebetan. Setelah 2014, aku mulai jarang membuka
facebook. Alhamdulillah, aku mulai merasa facebook tidak asik. Saat itu sudah
ada instagram dan path.
Aku sudah membuat
akun instagram dari tahun 2013, tapi postingan pertamaku April 2014. Dulu, aku
merasa tidak suka dengan akun instagram. Bukan aku banget, tidak mengerti
fotografi. Namun, lama kelamaan instagram jadi mirip galeri sehari-hari dan
kamera hp pun banyak yang menghasilkan gambar yang bagus. Kecanduanku pun
berawal dari 2014 hingga sekarang.
Path apa kabar? Baik.
Banyak orang yang tidak suka dengan Path karena hanya menunjukan keseharian
seseorang, lagu yang sedang didengarkan, sedang di mana, dengan siapa, buku apa
yang dibaca, film apa yang ditonton, dan lain sebagainya. Terkadang Path
dianggap sebagai akun pamer hedonisme anak muda. Bahkan, tidak sedikit anak
muda yang ingin berkunjung ke suatu tempat hanya sebatas gaya dan numpang check
in agar dikata hitsss. Aku tidak terlalu peduli dengan itu semua. Sah-sah saja,
ada kawanku yang berpendapat jika check in di Path bisa mengingatkan aktivitas
apa saja yang dilakukan pada hari A, jam B. Aku sendiri tidak terlalu banyak
check in di tempat makan atau tempat ngehits, lebih suka check in di kampus. Biarlah
orang-orang tidak tahu aku makan di mana dengan siapa, toh pasti bukan dengan
laki-laki dan bukan di tempat makan mahal.
Penggunaan Path pun tidak selamanya mengarah pada hedonisme,
tergantung orangnya juga. Akun yang satu ini sebenarnya lebih banyak kugunakan
untuk melihat siapa saja yang melihat statusku. Kepo.
Ask.fm, aku punya
akun ini. Hanya saja sedikit sekali orang yang bertanya padaku. Sedih. Jadi aku jarang membukanya.
Dari semua akun yang ngehits, akun yang tidak kumiliki adalah Secret.
Sebuah akun media sosial, kita bisa menuliskan status tanpa orang-orang tahu
bahwa kita yang menulisnya. Konon katanya, akun ini ditutup karena banyak
status-status frontal yang tidak pantas, bisa dibilang mengandung SARA atau
mengacu pada obrolan-obrolan dewasa. Jadi, kesimpulannya orang lebih berani
main belakang daripada depan?
Snapchat. Akun ini menawarkan kita untuk memasang status atau men-share
sesuatu, hanya saja dalam waktu 24 jam status itu akan terhapus dengan
sendirinya. CMIIW. Sampai saat ini, aku belum memiliki minat untuk membuat akun
snapchat. Semoga tidak ya!
Sebenarnya banyak sekali akun media sosial yang kupunya, tapi aku
lupa.
Di sisi lain, media sosial bertujuan untuk mendekatkan yang jauh,
seperti mendekatkan aku dan Mamang di Sudan. Di sisi lain, menjauhkan yang
dekat. Kepekaanku terhadap lingkungan sedikit demi sedikit terkikis oleh media
sosial. Perasaan bersalah itu selalu ada, tapi susah sekali untuk berubah. Hingga
akhirnya kubulatkan tekad untuk berusaha hidup tanpa media sosial seperti dulu.
Ah, ternyata tekadku kurang bulat! Setelah kuuninstal akun media sosial, aku
masih bisa membukanya via website. Sial! Aku pun kembali dengan hobiku membuka
instagram.
Jeratan media sosial begitu kuat mengukung diriku. Seharusnya aku
mengendalikan zaman, tapi nyatanya malah aku yang dikendalikan zaman.
***
Terjemahan ceritaku pun masih setengahnya. Aku sampai rela menginap
di kosan kawanku agar semangat menerjemahkan cerita Al-Kaslān wa Tāj
As-Sulthan. Hasilnya lumayan. Tapi, setelah pulang ke rumah kembali ke nol
lagi., nihil dan rajin bergelut dengan sosial media.
Aku adalah salah satu anak yang menyumbangkan Indonesia berada di
posisi puncak dengan 540 menit menatap layar setiap harinya, atau sama dengan 9
jam perhari, atau bahkan mungkin lebih? (sumber:
m.detik.com/inet/read/2014/05/30/133230/2595369/398/soal-kecanduan-internet-indonesia-juara
Saha atuh mamang sudan th? Haha
BalasHapusSaha atuh mamang sudan th? Haha
BalasHapusMamang urang ul wkwk.
HapusMamang urang ul wkwk.
Hapus