Ekspektasi

Ketika aku masih berseragam putih merah, rasanya aku ingin sekali bersegera memakai seragam putih biru dan putih abu. Aku selalu menganggap bahwa orang-orang yang sudah mengenakan pakaian-pakaian itu akan lebih dewasa sikapnya daripada aku yang masih berseragam seperti warna bendera negara. Setelah kugunakan pakaian yang kutunggu-tunggu, ternyata rasanya sama saja seperti dulu, atau mungkin memang diriku yang sulit berubah?
Aku selalu menganggap bahwa semakin besar, laki-laki akan semakin dewasa. Nyatanya tidak! Saat masih SMP, banyak sekali laki-laki yang menjaili teman-teman wanita, begitu pula SMA. Aku pikir, laki-laki yang sudah menginjak usia 17++ itu akan bersikap lebih bijak dan positif. Ternyata mereka baru bisa membuat wanita positif hamil.
Semakin matangnya usia, bukankah seharusnya laki-laki (juga wanita) bertambah dewasa? Hidupku 2 tahun 3 bulan lagi seperempat abad, tetapi yang kutemui banyak sekali penyelewengan dalam diplomasi hati. Anak kecil pasti tahu bahwa selingkuh itu dilarang. Mereka akan sangat sakit sekali jika mengetahui orang tuanya tidak setia pada keluarga. Yang harus kuakui, manusia mengerti banyak teori isi hati. Hanya saja nafsu rayuan lebih ingin dipenuhi.
Dulu aku ingin cintaku diburu-buru. Sekarang aku tahu harus kemana melaju, hanya saja aku masih menunggu. Kata orang, menunggu itu urusan waktu. Sayangnya aku belum tahu siapa yang kutunggu. Aku ingin menunggu dia yang tidak mampu berbuat adil pada wanita dalam urusan “cinta”, selain padaku, ibunya, kakak-kakak atau adik-adiknya. Tapi siapa?
Aku berada di tengah-tengah penantian. Jika dia datang, artinya aku sudah di ujung penantian dan berikanlah aku mahar keimanan, kesetiaan, dan kerja keras.


Bandung, 9 Mei 2016
H-2 Prasidang yang dihiasi musim nikah

17.41 WIB

3 komentar: