Simulasi Menjadi Istri

Sudah penghujung November 2015. Semakin dekat ke pelaminan. Iya, dari hari ke hari hari itu memang semakin dekat, tapi entah saya akan mengalaminya atau tidak. Hampir tiga bulan di negeri kinanah, negeri yang banyak panah. Entah ke mana panah cinta ini akan mengarah. Do’a-do’a gencar dipanjatkan, do’a minta jodoh. Yang saya rasakan, berdo’a di tanah ini mudah sekali diijabah.
Sudah pantaskah saya menikah? Itu yang selalu saya tanyakan. Entahlah, yang jelas saya sudah lelah dengan kebaperan-kebaperan yang disodorkan oleh lelaki yang silih datang dan pergi. Konsekuensi dalam hidup ini, jika ada seseorang yang tiba-tiba datang, maka harus siap jika dia tiba-tiba pergi. Itu hal yang selalu telat saya sadari hingga kesalahan yang sama terulang berkali-kali.
Bingung, apa yang harus disiapkan untuk menjadi seorang istri.

Kemahiran memasak? Keadaan di sini memaksa saya untuk belajar memasak. Ah sialan, jumlah personil flat kami yang sepuluh orang membagi kami menjadi lima kelompok yang setiap kelompoknya berjumlah dua orang. Jadi, kami kebagian piket masak lima hari sekali. Begitu pula dengan bersih-bersih flat, kamar mandi, buang sampah, dan lain sebagainya. Memasak adalah salah satu hal yang tidak saya sukai karena setelah memasak baju saya akan bau, entah itu bau minyak, ikan, bala-bala, asap, atau bau apapun yang saya masak. Fiuuuuh.. Apalagi ada statement Pidi Baiq, "Mengapa istri harus bisa masak? Padahal itu rumah tangga, bukan rumah makan."
Permasalahan paling pokok saya banget, tidak bisa memasak. Seiring berjalannya waktu, saya mulai terbiasa mengiris bawang, cabe, sayur, atau apapun itu. Maklumlah, di rumah selalu dimasakin ibu atau kalo masak pun paling hanya mie instan, telur, atau seblak. Yaaa, namanya juga anak bungsu. Hahaha. Saat itu pula saya sadar, betapa panasnya tangan setelah mengiris cabe. Panasnya menyebar apabila tangan bekas ngiris cabe dipake c*bok. Pedih cuy! Perih juga mata kalo ngiris bawang. Masak memang membutuhkan pengorbanan. Bagai mana pun juga, jika saya sudah menikah nanti, seorang istri memang harus membuat dapur mengepul sejak pagi.

Kemahiran berbelanja? Hidup di Mesir mengajarkan saya untuk pergi ke pasar. Ini juga ada piketnya. Segala hal dibagi-bagi agar tidak ada kesenjangan sosial. Saya jadi tahu harga-harga sayur di pasar, jadi bisa sedikit menawar juga, tahu mana sayur yang bagus dan yang tidak bagus. Tidak hanya itu, saya juga dituntut mengecek bahan makanan apa saja yang masih ada dan yang sudah habis/ harus dibeli. Future mother banget ya. :’)
Pasar di Mesir sama seperti pasar di Indonesia. Bau, becek, menjijikan. Lagi-lagi di Indonesia saya tidak  pernah pergi berbelanja, apalagi ke pasar. Masihkah cocok untuk menjadi seorang istri dalam waktu dekat ini? Ah, ternyata Mesir memang mengajarkan banyak hal.


Kebersihan diri dan lingkungan. Tentu ini harus diperhatikan. An-nazhofatu minal iman, yakni kebersihan adalah sebagian dari iman. Ada yang mengatakan, penampilan istri tergantung suaminya. Hahahaha.

Pengetahuan. Hahaha pentingkah? Tidak dapat dipungkiri, saya pasti ingin nyambung bersama pasangan. Andaikata jodoh expert di bidang sosial, pengetahuan alam, musik atau apapun itu, saya juga harus bisa saling mengisi karena tentu saja pasangan ingin komunikasi dua arah. Kalau pun kita tidak tahu tentang apa yang dibicarakan pasangan, setidaknya banyak bertanya dan respon positif. Setidaknya hal itu menunjukan jika obrolan begitu menarik, yaaa walaupun sebenarnya bisa jadi tidak menarik. Pura-pura saja menarik, hargai pasangan ya! Banyak diantara pasangan yang bertengkar dan akhirnya bubar hanya karena merasa tidak didengar oleh pasangannya. Biasanya kalo di sinetron-sinetron si pasangan bilang, “Kamu tuh ga peka, ga pernah ngertiin aku!”

Perbanyak hafalan Al-Qur’an.
Suatu hari saya ditanya oleh seorang junior laki-laki sesama peserta Sandwich Program, “Teh, kenapa pengen cepet nikah?”
“Cape Im, udah bukan waktunya main-main. Pengen juga ngafalin Qur’an bareng, saling dengerin.”
“Bulshit itu!”
“Kamu aja yang ganiat!” balas saya.
Saya tidak menuntut laki-laki yang hafidz Qur’an. Saya hanya ingin calon suami yang ingin berjuang bersama menghafal Al-Qur’an. Maklumlah, saya bukan seorang alim atau perempuan yang hafal Al-Qur’an. Menikah itu menyempurnakan separuh agama. Kan asik udah menyempurnakan separuh agama dengan menikah, sisanya sempurnakan lagi bersama-sama. Kebanyakan dari orang tua ingin memiliki anak yang soleh/ah dan hafidz qur’an. Sebelum menyuruh anak, bukankah harus dimulai dari orang tua?
Walaupun ingin memiliki keluarga yang hafidz atau cinta Al-Qur’an, tidak dapat dipungkiri, saya juga ingin menjadikan keluarga yang suka musik. Maklumlah, hobi nyanyi! Mari kita bangun keluarga yang fleksibel!


Mental. Saya rasa ini yang paling pokok. Saat sudah menikah, saya yang bisa dibilang introvert dan individualis harus berbagi hidup dengan suami. Cieeeee.. Iya dong, saya harus siap dengan karakter yang entah itu saya sukai atau bahkan saya benci. Namanya juga manusia, pasti ada kekurangan dan kelebihan. Suatu hari pasti akan ada momen saat pasangan membuat saya bete atau sebel. Bagai mana pun  caranya, saya harus bisa bertahan pada pilihan. Tidak lucu juga karena suatu masalah kecil, suami dan istri bertegkar dan akhirnya bercerai.

Sikap romantis. Beruntung sekali riset membuktikan bahwa tingkat keromantisan saya tinggi. Entahlah, memang sudah naluriah. hahahah Cinta itu seperti tanaman, ia harus dirawat, disiram dan dipupuk agar bisa terus tumbuh. Menurut saya, sikap romantis adalah salah satu hal yang menjaga cinta tetap harmonis. Bisa dengan tindakan kecil seperti mengusap kepalanya, mencium keningnya, memasak berdua, atau hanya sekedar kata, “kamu cantik/ tampan.” Oh Tuhan, lambaikan tangan kalo gakuat dengan ucapan saya! Saya mah apa atuh, cuma korban drama dan film-film. :”)

Baiklah, karena malam di Ismailia semakin legam, saya rasa cukup. Ini semua hanyalah kata-kata yang kebanyakan tidak memiliki landasan filosofis yang jelas dari seorang wanita yang mencoba menghangatkan keadaan lewat tulisan. Maklumlah 17°C untuk penyendiri bukanlah hal yang mudah untuk dilalui. Semoga do’a-do’a Suri cepat diijabah seperti do’a lainnya. Semoga Suri segera saling menemukan dan ditemukan dengan seseorang yang sudah tertulis di lauhul mahfuz.

Terakhir, untuk semua orang yang berada dalam kesendirian dan kesepian dalam penantian, saya beri kalian sesuatu:

Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu."(Muttafaq Alaihi)



Suri yang selalu bilang ingin menikah dengan segera.

22.07 waktu Ismailia

0 komentar:

Posting Komentar