Langit
Ismailia murung. Rasa lelah selepas dari Kairo masih terasa. Muti, teman
sekamarku baru bangun dzuhur. Aku sudah terbangun sedari subuh. Aku pantang
sekali tidur setelah subuh, kecuali jika sangat sangat lelah. Maklumlah,
cita-citaku segera menikah. Aku tidak ingin rezekiku terhambat, salah satunya
rezeki jodoh.
Usai shalat
dzuhur, kulihat handphone dan ada notifikasi instagram. Kamu mengirimiku pesan.
“Tehh Sri..
Ke Ismailia ya hari ini?”
“Udah
pulang dari kemarin, Kang.”
“Eh, Mas.”
“Panggil
Suri aja mas.”
<3
“Maaf, Mas,
itu kepencet.”
“Haha iya
santai.”
Kamu hanya
mengajukan satu pertanyaan, tapi aku menghujaninya dengan banyak balasan.
Kutekan enter banyak sekali. Aku hampir tidak pernah mengobrol dengan orang di
instagram. Pernah sekali aku mengirimi kawanku pesan hanya agar sekedar tahu
cara menggunakan pesan di instagram. Aku
tidak sengaja menekan tombol “love” karena tidak tahu akan muncul gambar love
berwarna merah di layar. Aku salting sendiri. Ya Tuhan, aku takut kamu
beranggapan yang tidak-tidak terhadapku.
Aneh sekali,
tidak ada hujan badai, tapi kamu tiba-tiba datang padaku. Kamu menanyakanku
pertanyaan yang bodoh, “Kenal Mas Rosyid dari UGM?” Tentu saja akan kujawab
kenal. Hampir lima bulan berada dalam satu pertukaran pelajar yang sama dan
satu kelas bersama Rosyid, mana mungkin tidak kenal. Kamu juga bilang mau
mengajak dia jalan-jalan. Lantas apa urusannya denganku? Jika kamu mau mengajak
Rosyid, ya ajak dia. Ujungnya pun kamu bilang, jika aku ingin ikut ahlan
saja. Dasar lelaki modus.
***
Aku berusaha
untuk tidak mengabaikan pesan Mas Hanan. Itung-itung belajar komunikasi
dengan lelaki. Apalagi, aku ini dicap jutek oleh banyak teman lelaki. Waktu
itu, sepulang dari Gereja Gantung di Kairo, aku mengantar Muti bertemu dengan
teman laki-lakinya. Mereka berjumlah lima orang. Kami makan di warung 22. Warung
ini milik Nahdatul Ulama. Tempatnya lumayan nyaman dan membuat dompet aman
karena kebetulan waktu itu kami pergi ke sana tanggal 22. Itu artinya, kami
mendapat diskon makan 9%. Pengertian sekali warung 22 ini.
Teman laki-laki
Muti merupakan mahasiswa Al-Azhar. Diantara mereka ada yang baru kuliah tingkat
2 dan 3. Wajahnya sangat kesantrian. Teduh, tidak amburadul sepertiku. Aku lebih
banyak menunduk dan diam. Mereka banyak membongkar kenangan saat di pondok. Aku
seperti boneka pajangan yang mematung sembari melihat ke bawah, sama sekali
takut untuk menatap paras-paras mereka. Muti merupakan bintang di pondoknya. Aku
baru tahu dan tidak banyak peduli.
Aku memesan
bakso. Muti juga. Di Kairo bertebaran penjual bakso, sementara di Ismailia baso
menjadi angan-angan belaka. Teman laki-laki Muti ada yang memesan ikan bulti,
ayam, dan bebek.
“Teh Muti, kok
itu yang di sampingnya diem aja ya dari tadi?” tanya salah satu teman laki-laki
yang paling banyak bicara dan membuat keadaan ramai.
Wajahku yang
menunduk langsung menatapnya, “Gapapa kok.”
Sesekali aku
ikut masuk ke dalam nostalgia mereka. Pura-pura merasakan apa yang mereka
rasakan. Aku mencoba membuat mereka melebarkan senyuman, tapi gagal. Aku merasa
jadi makhluk paling garing.
Kulemparkan
pandangan pada kawan Muti yang ada di depanku. Dia memakai kopeah hitam
dan rambutnya hampir mengenai bahu. Aku risih. Sebenarnya dia menatap siapa? Aku
atau siapa? Kucoba melirik ke belakang, ternyata dia asyik menatap siaran bola.
Pertemuan ini
menambah deretan kejadian membosankan di Kairo. Aku tidak mau melirik mereka, aku
pasti lebih dewasa dari mereka.
Bandung, 23 Februari 2016
15: 48
Mengenang bujang yang kusayang
0 komentar:
Posting Komentar