Tiga Puluh Hari yang Berbeda (Part 1)

Anak-anak KKN Pancawangi Januari 2015
KKN (Kuliah Kerja Nyata) menjadi lembaran baru, pembuka kisah ditahun 2015. KKN merupakan hal yang sangat menyeramkan untuk didengar dan tak sanggup untuk dibayangkan. Andai KKN tidak wajib, saya tidak akan pernah memilihnya. Kalian harus tahu, saya akan tinggal sebulan bersama orang-orang yang baru ditemui dua kali. Bayangkan, hanya di KKN, bertemu dua kali dan langsung satu rumah dengan laki-laki bukan mahram. Entah bagaimana karakter, perangai mereka sehari-hari. Semua terlihat buram. Saya hanya bisa menerka-nerka mereka lewat wajah sekilas.
            Pancawangi, sebuah desa di Kecamatan Pancatengah Kabupaten Tasik Malaya yang saya pilih secara asal dengan perjuangan siang malam sebagai tempat KKN. Saya lihat di google map, letaknya lumayan jauh dengan kota Tasik Malaya. Benar saja, untuk pergi ke pusat kota membutuhkan waktu 3 jam dengan menggunakan bus. Ongkosnya pun tidak murah, 60.000 pulang pergi.
            7 Januari 2015, kebersamaan kami dimulai di bus 36. Bus kami diisi oleh Desa Pancawangi dan Pangliaran. Sama-sama Kecamatan Pancatengah. Bus menjauhi kampus UNPAD Jatinangor sekitar pukul 07.15. Tidak terlalu banyak sapa menyapa dengan bangku-bangku lain. Masih terasa hening, belum terasa bumbu-bumbu keakraban. Hingga matahari mulai merangkak, mulai terdengar kolaborasi para lelaki membelai-belai gitar dan suara khas yang mirip dengan Abdul and The Coffe Theory dengan karakter suara yang jazzy. Lumayan menghibur dan membuat waktu tak terasa.
            Jadi sesungguhnya mana yang jauh? Mars, Bekasi, Tasik, atau Pancawangi? Hingga ashar tiba, kami belum “touch down” Pancawangi. Apa seharusnya kami naik roket ke Pancawangi? Kami tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Mungkin bagian ini tidak terlalu penting dan tidak ingin saya bahas. Jalan menuju Desa Pancawangi berkelok-kelok dan naik turun. Banyak pemandangan yang tidak biasa yang sudah jarang ditemui di Kota Bandung, seperti pohon-pohon yang super tinggi –pohon kelapa dan banyak pohon jenis lainnya- dan pemandangan hijau sawah-sawah yang membentang luas. Terbayang tiba-tiba hewan buas seperti macan tiba-tiba melompat dari berbagai arah. Andaikata itu terjadi, saya akan segera makan biskuat agar bisa jadi macan. Jadi, saya tidak jadi mangsa. Terbesit juga pertanyaan, “Ya Allah, sebenarnya saya akan dibawa ke daerah seperti apa?” Sepanjang jalan seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Entah di mana permukiman warga, yang ada paling hanya warung kecil tempat peristirahatan pengendara yang lelah mengemudi. Berulang kali saya berdo’a, berharap keselamatan. Sejauh ini, jalanan lumayan bagus dan sudah beraspal, hanya saja kurang lebar dan sisi-sisi jalan masih belum dipagari.
            Sekian lama tersesat, akhirnya bus kami tiba di pom bensin Cikatomas sekitar pukul 5 sore. Saking jauhnya Desa Pancawangi, bus dari UNPAD hanya mengantar saya dan teman-teman sampai sana (Pom Bensin Cikatomas). Bus TKM yang disediakan –entah oleh Pak Kuwu entah oleh bapak dosen- telah menanti kami, tak sabar untuk mengantar kami menuju Desa Pancawangi. Kami masih harus menyediakan tenaga untuk mengangkat koper dan melakukan perjalanan ke Desa Pancawangi. Jalanan masih naik turun, tetapi mulai agak berbeda. Semakin mendekati desa, jalanan semakin berbatu, bolong dan berbahaya. Lubang-lubang mulai membuat mobil bergoyang tidak karuan, membuat jantung saya berdetak kencang. Jalanan harus segera diaspal agar mulus.
            Akhirnya bus butut itu mengirim kami ke Desa Pancawangi tepat saat adzan maghrib. Aura mistis rasanya menyelubungi desa ini. Mungkin karena rumah-rumah yang jaraknya lumayan berjauhan dan banyak pohon-pohon seperti pohon kelapa, coklat, jambu, pisang dan pohon-pohon yang tidak bisa disebutkan satu persatu, serta penerangan jalan yang masih remang-remang bahkan gelap.

            Kisah kami akan dimulai. Kisah tiga puluh hari yang tak biasa, yang tak kan pernah terlupa.

0 komentar:

Posting Komentar